Senin, 15 September 2014

Khotbah yang Masih Saja Ada

Kemarin sore, di Mesjid samping kost-an saya ada acara rutin pengajian entah apa. Yang jelas ibu-ibu sampai nenek-nenek rutin menghadiri acara tersebut yang isinya ceramah keagamaan. Dulu sekali sejak saya baru kost di tempat itu, saya awalnya tidak merasa ada hal yang membuat saya terganggu maupun tertarik mendengar ceramah tersebut. Namun akhir - akhir ini saya jadi kurang suka dengan isi khotbah yang didengung-dengungkan. Bukan karena agama yang saya anut berbeda, hanya saja isi khotbah yang saya dengar dari sana sering menyinggung ajaran agama lain.

Awalnya, saya sedang iseng mendengarkan khotbah tersebut, karena memang suaranya sangat keras. Terdengar kata Yahudi berkali-kali. Menjelek-jelekkan penganut Yahudi seolah-olah semua Yahudi itu jelek. Khotbah yang saya sayangkan karena sadar atau pun tidak, ini sama saja menanamkan kebencian kepada penganut agama lain. Terakhir, kemarin, saya dengar penceramah membahas teologi Islam, tentang keesaan Tuhan dalam pandangan Islam. Bahwasannya Allah itu satu, satu yang benar-benar satu. Yah, intinya begitu. Namun lagi-lagi saya sayangkan karena ketika membahas teologi islam, pembicaran menggeser membahas teologi agama lain. Membicarakan agama Kristen dengan konsep trinitas, satu dalam tiga, tiga dalam satu. Membahas teologi Trimurti, yakni Dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma. Tidak hanya itu, Sang Penceramah menyinggung umat Buddha menyembah patung, Nasrani menyembah Salib, dll. Jujur, ceramah-ceramah seperti ini, memang sering saya dengar bukan hanya di Mesjid itu. Sering saya dengar, penceramah yang membahas ajaran agama lain dan suarakan kebencian terhadap penganut dan ajaran agama lain.

Jika mau dilihat dari segi teologi, Islam juga tidak hanya ada satu teologi, ada Mu'tazilah dan Asy'Ariyah. Jika mau membahas teologi, bahaslah sekurang-kurangnya dua ajaran teologi islam itu, saya yakin satu pertemuan ceramah pun kurang cukup untuk membahas itu. Dan menurut hemat saya, ini lebih baik ketimbang harus menyinggung teologi agama lain yang secara etika tidak patut untuk dibahas. Kenapa? Yang pertama karena penceramah adalah penganut agama Islam. Sudah barang tentu tidak etis membahas Ketuhanan dalam agama lain, mengingat firman Tuhan yang artinya, "Untukku agamaku, untukmu agamamu". Selain itu, saya pun ragu bahwa penceramah itu memahami pemahaman teologi agama lain secara benar. Bukinya, penganut agama lain yang paham tidak ada masalah dan tidak ada keraguan dalam meyakini ajarannya. Selain itu, saya ingin  mengatakan begini; Jika kita menganggap penganut Kristen menyembah Salib, atau penganut Hindu dan Buddha menyembah patung, maka apakah kita tidak sadar bahwa kita Sholat menghadap Ka'bah? Jika kita punya pembelaan bahwa kita tidak menyembah Ka'bah, maka kurang lebih alasan penganut agama lain juga sama. Tapi, jika kita tetap ngotot dengan prinsip itu, saya anjurkan berdiskusilah dengan para pemuka agama lain, itu bila kita sungguh-sungguh. Lagipula, apa untungnya membenci penganut dan ajaran agama lain?

Sepertinya suasana di paragraf di atas terlalu panas ya? hehe. Mari kita dinginkan dahulu pikiran yang panas itu. Sebenarnya saya tidak bermaksud membenarkan ajaran lain karena saya akui pengetahuan saya sedikit. Sangat sedikit. Karena saking sedikitnya pengetahuan saya itu, saya pun tidak berani lancang mengatakan ajaran agama lain itu salah. Bukankah selain Tuhan dan para Nabi yang suci, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan kebenaran yang sejati? Jadi, mari kita jalani apa yang kita yakini, tanpa perlu saling menyerang keyakinan yang lain. Sibukkanlah memperbaiki diri, mudah-mudahan Tuhan memberkati kita selalu.

Saya juga tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan Islam. Walaupun pemahaman islam saya berbeda dengan kebanyakan, tapi saya sama cinta kepada Kanjeng Nabi. Saya tidak ingin kedamaian yang Beliau ajarkan harus ternoda oleh kebencian umatnya kepada umat yang lain. Apalagi nama islam tercemar sebagai agama teroris. Jujur saja ini pukulan bagi saya sebagai pengikut Kanjeng Nabi, karena stempel teroris ini secara tidak langsung mencemari nama terpuji Kanjeng Nabi.
Terakhir, sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pemahaman bahwa sepatutnya khotbah itu lebih ditekankan pada pemahaman yang benar tentang ajaran Islam, khusus ajaran Islam. Tidak boleh menyinggung ajaran agama lain, apalagi memprovokasikan kebencian. Saya yakin bahwa sangat banyak kandungan ajaran agama islam yang perlu digali dan terus digali demi pemahaman umat. Jika kita sudah cinta dengan agama kita, kita sibukkan diri kita memahami ilmu-Nya, maka tidak ada waktu untuk mengurusi bahkan mengkritik ajaran agama lain. Selain itu, orientasi dakwah sangat perlu membahas tentang sifat-sifat mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Misalnya, bagaimana beliau memimpin masyarakat majemuk Kota Madinah yang terdiri dari Islam, Nasrani, Yahudi, dll. Bila peneladanan sifat-sifat mulia Kanjeng Nabi terus didakwahkan, mudah-mudahan semakin banyak pemeluk agama islam yang santun. Salam :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar